Dalam beberapa tahun terakhir, Tokyo mengalami ledakan popularitas di kalangan penggemar budaya cyberpunk. Perpaduan unik antara arsitektur tradisional Jepang dan teknologi mutakhir menjadikannya tempat yang sempurna untuk dunia dystopian futuristik yang sering digambarkan dalam literatur dan film cyberpunk. Hal ini menyebabkan munculnya Tokyo77, sebuah subkultur yang merayakan estetika dan etos cyberpunk kota tersebut.
Asal usul Tokyo77 dapat ditelusuri kembali ke tahun 1980an, ketika cyberpunk pertama kali muncul sebagai genre sastra. Penulis seperti William Gibson dan Bruce Sterling menggambarkan masa depan yang gelap dan berteknologi tinggi di mana perusahaan-perusahaan besar mempunyai kekuasaan yang sangat besar dan individu-individu berjuang untuk mempertahankan kemanusiaan mereka di dunia yang didominasi oleh mesin. Tema-tema ini menarik perhatian banyak orang, terutama mereka yang tinggal di kota-kota yang mengalami modernisasi pesat seperti Tokyo.
Ketika Tokyo tumbuh menjadi pusat teknologi dan inovasi global, Tokyo mulai mewujudkan visi cyberpunk dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh kota lain. Jalanan Shinjuku dan Akihabara yang diterangi lampu neon, gedung pencakar langit Shibuya dan Roppongi yang menjulang tinggi, serta kerumunan pekerja kantoran dan otaku yang ramai, semuanya berkontribusi pada suasana kota yang futuristik dan seperti dunia lain. Tak heran jika Tokyo menjadi magnet bagi para pecinta cyberpunk dari seluruh dunia.
Salah satu faktor kunci dalam transformasi Tokyo menjadi surga cyberpunk adalah penerapan teknologi baru. Dari kafe robot hingga arcade realitas virtual, kota ini terus mendorong batas-batas apa yang bisa dilakukan dengan inovasi digital. Hal ini telah menciptakan kegembiraan dan kemungkinan yang sejalan dengan etos cyberpunk dalam melampaui batas dan menjelajahi hal-hal yang tidak diketahui.
Aspek penting lainnya dari Tokyo77 adalah dunia fesyennya yang semarak. Terinspirasi oleh estetika cyberpunk dari film seperti Blade Runner dan Ghost in the Shell, masyarakat Tokyo menganut gaya yang memadukan pakaian tradisional Jepang dengan elemen futuristik seperti warna neon, kain metalik, dan aksesori cybernetic. Perpaduan unik antara lama dan baru ini telah menjadi ciri khas subkultur Tokyo77, menarik perancang busana, fotografer, dan penata gaya yang tertarik pada selera gaya kota yang mutakhir.
Tentu saja, Tokyo77 bukannya tanpa kritik. Beberapa orang berpendapat bahwa subkultur ini meromantisasi aspek-aspek gelap cyberpunk, seperti keserakahan perusahaan dan kesenjangan sosial, tanpa sepenuhnya memikirkan konsekuensi nyata dari permasalahan ini. Pihak lain khawatir bahwa modernisasi yang cepat di kota ini akan menghapus warisan budaya dan rasa kebersamaan, sehingga menyebabkan lanskap kota menjadi homogen dan tidak berjiwa.
Terlepas dari kekhawatiran ini, Tokyo77 tidak menunjukkan tanda-tanda melambat. Setiap tahunnya, kota ini semakin mengakar dalam estetika cyberpunk, menarik pengikut baru dan mendorong batas-batas dari apa yang mungkin dilakukan di era digital. Baik Anda penggemar fiksi ilmiah, fesyen, atau teknologi, Tokyo77 menawarkan gambaran masa depan yang menarik sekaligus penuh ketidakpastian.
